Ketika
sedih, aku bersinar bagaikan bintang pagi
Ketika patah hati, hakikatku justru tersingkap
sendiri
Ketika
aku diam dan tenang seperti bumi,
tangisku
bagaikan guntur yang menggigilkan surga di langit tertinggi
Itulah
salah salah satu syair Maulana Jalaluddin Rumi yang selalu aku ingat sampai
saat ini. Ya, sampai saat dimana kedua mataku benar-benar menatap makam sang
penyair yang termahsyur di zamannya itu. Yang namanya begitu melegenda
sepanjang sejarah. Yang syair-syairnya terus terkenang hingga saat ini.
Dan
inilah Konya. Sebuah kota yang sangat indah yang kini dijadikan destinasi
wisata religi. Bangunan-bangunan sederhana yang memiliki desain arsitektur yang
sangat luar biasa. Termasuk juga bisa berziarah ke makam penyair muslim
terkenal di Turki ini yaitu Maulana Jalaluddin Rumi yang mana beliau juga
merupakan pencipta Tarian Putar khas Turki yang terkenal sampai ke pelosok
dunia. Dari Konya aku langsung menuju ke tempat yang tak kalah indahnya. Yaitu
Pamukkale sebuah tempat wisata yang katanya banyak menyita mata pengunjung.
“Inilah
Pamukkale. Tempat yang indah ini merupakan hasil dari fenomena alam yang
menyita banyak mata. Sekilas tempat ini seperti istana kapas. Namun sejatinya
tempat ini tersusun dari bebatuan yang bewarna putih. Dan disini juga ada
kolam-kolam air panas alami yang bisa digunakan untuk berendam.” Fatimah
menjelaskan dengan begitu detail tempat indah ini.
Namaku
Lintang. Aku suka menulis. Dan semua perjalananku menjelajahi dunia selalu aku
tulis dan aku jadikan novel. Terutama keindahan dunia yang berbalut keislaman.
Sayang jika tidak di abadikan dalam sebuah buku. Dan Fatimah adalah temanku di
Istanbul. Kami baru kenal dua hari yang lalu namun kini kami sudah sangat akrab
layakya saudara sendiri. Pertemuan kami dimulai sejak suatu kejadian yang
dimana saat itu aku tidak bisa membayar makanan yang aku beli karena dompetku
tertinggal di hotel. Lalu dengan lembutnya dia datang dan membayarkan makananku.
Dan semenjak itulah kami mulai berkenalan. Hingga saat ini. Dan Fatimah selalu
mengantarkanku ke tempat-tempat yang harus aku datangi. Perjalanan kami selalu
berkesan indah apalagi jika Nusaibah ikut. Gadis kecil yang cerdas dan kritis
dalam berpikir itu selalu memotivasi diriku. Dialah anak pertama Fatimah.
Dan
malam harinya Fatimah beserta Nusaibah mengundangku makan malam di rumahnya.
Sebuah undangan yang susah untuk di tolak. Katanya malam ini Fatimah akan
membuat banyak makanan khas Turki. Dan malam ini aku datang tepat waktu di
rumahnya. Kedatanganku disambut oleh si mungil Nusaibah dan senyuman manis
Fatimah. Aku merasa sangat berutung bisa bertemu dengan keluarga kecil yang
selalu berpegang teguh pada ajaran islam.
“Lintang,
aku memasak banyak sekali makanan malam ini spesial untuk kita bertiga. Dan
semuanya adalah makanan khas Turki yang kamu wajib mencobanya. Ada Dolma
yang berisi daging. Ada Manti, pasta berisi daging sapi dengan saus dan
mentega. Ada Hummus yaitu salad dan biasanya sebelum makan kami memakan Hummus
karena itu merupakan hidangan pembuka bagi orang Turki dan yang terakhir ada Baklava
yaitu roti lapis isi kacang dan madu serta sirup. Selamat menikmati.”
“Wow!
Banyak sekali Fatimah. Terima kasih. Maaf jika selalu merepotkan.”
“Tentu
tidak Tante.” Seloroh Nusaibah sembari mencomot Baklava.
Malam
yang dingin berlalu dengan indahnya bersama dua malaikat tanpa sayap yang ada
di depanku ini.
****
Pagi
hari ini matahari bersinar terang. Menghangatkan dinginnya Kota Istanbul. Aku
membuat teh hangat yang akan menemaniku merangkai kata pagi ini. Dan aku harus
mulai menyicil tulisanku mulai saat ini. Dan dua jam lagi Fatimah beserta
Nusaibah akan mengajakku ke dua tempat yang sangat terkenal di Istanbul. Tentu
saja Blue Mosque dan Hagia Shopia. Dan siapapun yang berkunjung kemari pastilah
akan selalu mendatangi tempat itu dan tentu saja aku juga harus kesana. Aku tak
mau melewatkannya begitu saja mumpung aku sedang berada di Turki.
“Inilah
Hagia Shopia. Bangunan indah bekas gereja dan juga masjid yang sekarang beralih
menjadi museum. Dan ini merupakan salah satu landmark paling terkenal di negeri
ini. Sejak dibangun, Hagia Shopia adalah sebuah gereja orthodox. Hingga
akhirnya di ubah menjadi masjid saat Kota konstantinopel jatuh pada kekaisaran
Ottoman di bawah pemerintahan Sultan Mehmed II. Dan pada saat itu Hagia Shopia
menjadi satu-satunya masjid disini sampai akhirnya di bangunlah sebuah masjid
di dekatnya. Sebentar lagi akan aku beritahu kepadamu tentang masjid itu. Dan
bentuknya tak jauh beda dengan Hagia Shopia karena memang masjid itu
terinspirasi dari arsitektur bangunan indah ini. Kemudian fungsi Hagia Shopia
menjadi masjid pun berakhir dan sempat ditutup untuk umum selama empat tahun.
Dan kemudian Hagia Shopia dibuka kembali lalu diubah menjadi museum oleh
presiden pertama republik Turki. Musthafa Kemal Ataturk.”
Setelah
menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana Hagia Shopia itu, Fatimah kembali
mengajakku ke bangunan yang dekat dengan Hagia Shopia. Yang bernama Blue Mosque
atau dalam bahasa Indonesia-nya adalah Masjid Biru. Kata Fatimah, masjid ini di
kenal sebagai masjid biru karena desain interiornya didominasi warna biru. Ada
20.000 keping keramik bewarna biru di dalamnya. Dan memiliki gaya arsitektur islam
dan klassik Ottoman yang memiliki 9 kubah. Dan ini merupakan kebalikan dari
Hagia Shopia. Blue Mosque masih aktif digunakan sebagai masjid hingga saat ini
dan merupakan masjid utama di Istanbul. Selain desain interiornya yang indah
karena di hias dengan banyak keramik bewarna biru dan lampu-lampu, masjid ini
juga memiliki halaman yang luas yang semakin menambah kemegahan masjid ini.
Tiba-tiba
Nusaibah mengajak untuk melaksanakan sholat duha di bawah naungan kubah mulia
ini. Sungguh gadis kecil yang sangat memotivasi diriku untuk menjadi lebih
baik. Dan di bawah naungan kubah megah ini, aku bersujud kepada Allah.
Bersimpuh di hadapannya. Bersyukur atas nikmat yang telah Dia berikan kepadaku.
Aku sangat bersyukur. Karena sejatinya Allah itu sangat dekat. Lebih dekat dari
jantung yang berdetak. Lebih dekat dari aliran darah. Lebih dekat dari urat
nadi di leher.
****
Sudah
tiga hari aku tidak berjumpa dengan Fatimah dan si kecil Nusaibah. Rasanya
rindu sekali. Karena selama tiga hari ini aku menghabiskan waktu bersama
tulisanku. Karena penjelajahanku di kota yang sangat indah ini sudah selesai
dan besok aku akan kembali ke Indonesia. Hari ini aku berencana untuk
membelikan hadiah untuk Fatimah dan malaikat kecilku. Setelah aku dapatkan
hadiah untuk mereka, aku langsung menuju ke rumahnya tanpa memberi tahunya
karena aku ingin memberinya kejutan. Begitu sampai, aku langsung memencet bel dan
keluarlah seorang wanita cantik berjilbab putih dengan motif bunga-bunga. Namun
yang aku kagetkan wajahnya terlihat sembab seperti habis menangis.
“Assalamualaikum
Fatimah. Aku rindu padamu dan Nusaibah. Oh ya, aku belikan sesuatu buat kalian
berdua dan aku harap semoga bisa bermanfaat. Oh ya, dimana malaikat kecilku?.”
Fatimah
menjawab salamku kemudian tersenyum. Tapi wajah sedihnya tidak bisa ia
sembunyikan. Terlihat jelas sekali goresan kepedihan di wajahnya yang jelita.
“Ada
apa Fatimah? Mengapa kamu menangis? Apa yang terjadi padamu?.”
Tanpa
menjawab pertanyaanku Fatimah mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Dan aku
terperanjat tatkala aku melihat keadaan Nusaibah. Gadis kecil yang cerdas itu
terbaring tak berdaya di atas ranjang. Kata Fatimah dia sakit. Ya, dia sakit
kanker. Seketika itu juga aku tak bisa membendung air mataku. Aku menangis di
hadapan Nusaibah dan Fatimah. Aku memeluk gadis kecil itu dia menangis dan aku
pun menangis. Kemudian dia tersenyum padaku namun aku tak bisa membalas senyumannya
malah justru aku membalasnya dengan air mata yang terus berderai tanpa henti. Ku
kecup keningnya berkali-kali. Aku sungguh tidak tega melihat keadaannya yang
berubah derastis dari sebelum-sebelumnya.
“Lintang.
Ada satu hal yang belum kamu ketahui tentang Nusaibah.”
“Oh
ya? Apa itu?.” Jawabku dengan suara sedikit serak.
“Waktu
lalu, kau ‘kan pernah mengatakan jika akan berangkat ke Suriah. Kau ingin lebih
berani. Berani dalam menulis di tempat yang ekstrem. Dan tentu saja disana
pastilah banyak anak-anak di kamp pengungsian yang sedang menghafal Al-Quran.
dan kau tahu Lintang? Nusaibah putriku, dia adalah malaikat bagiku. Dan yang membuatku
sangat bersyukur adalah dia hafal Al-Qur’an seluruhnya. Dan yang selalu aku
ingat katanya yaitu ‘aku ingin memakaikan mahkota yang terbuat dari emas di
kepala mama’.” Kata Fatimah sembari menangis. Aku tidak tahan dan ikut
menangis. Namun aku menguatkan hatinya dengan mengelus bahunya.
“Aku
sungguh tidak menyangka ternyata Nusaibah lebih dari apa yang aku tahu.”
“Dan
kau mau tahu kelanjutan ceritaku? Ya, semenjak dokter momvonis jika umurnya
tidak lama lagi, dia mengatakan jika dia ingin menyumbangkan mushaf yang selalu
menemaninya menghafal untuk diberikan kepada salah satu saudaranya di Suriah
yang sangat membutuhkan yang dia memang benar-benar ingin menghafal. Karena dia
ingin mushafnya terus terpakai bagi anak-anak penghafal Al-Quran di luar sana.
Dan aku tidak habis pikir Lintang, jika Nusaibah memiliki pikiran sampai sebegitu
dalamnya. Maka dari itu, aku meminta tolong kepadamu agar ketika kamu telah
berada disana, kamu memberikannya kepada salah seorang anak yang benar-benar
membutuhkannya dan memiliki semangat yang tinggi dalam menghafalkanAl-Quran.”
“Insya
Allah, akan aku laksanakan.”
Tiba-tiba
nafas Nusaibah tidak terkontrol. Kami berdua mendekat. Dia seperti ingin
mengatakan sesuatu.
“Ma….ma….tu..tun…tuntun…a…akh…aku.”
Seketika
itu juga Fatimah langsung menuntun putri tercintanya untuk membaca syahadat
untuk yang terakhir kalinya. Dengan susah payah Nusaibah menirukan apa yang di
ucapkan oleh mama-nya. Aku menangis melihat kejadian itu. Seakan dinding rumah
ini juga mengeluarkan air mata. Nusaibah menghembuskan nafas terakhirnya.
Fatimah menangis dan aku pun menangis. Kedua mata Nusaibah telah tertutup
rapat. Gadis kecil yang selalu menginspirasiku kini telah tiada. Allah telah
memanggilnya terlebih dahulu. Sedih begitu menyelimuti ruangan ini. Kulihat,
seperti ada pelangi di bibir Nusaibah.
0 Comments:
Post a Comment