Saturday, April 27, 2019

Kabut Jingga


Alarm berdering. Aku terbangun. Mengucek kedua mataku yang pandangannya masih belum jelas. Duduk sejenak lalu bangkit dari tempat tidur. Aku melihat ke arah jendela. Kaca jendela berembun. Udara di luar pasti sangat dingin dan kemungkinan besar akan turun salju karena hari ini sudah memasuki winter. Aku menyambar handuk yang ada di belakang pintu kemudian masuk ke kamar mandi. Karena satu jam lagi aku ada jam kuliah. Selesai mandi aku membuat teh hijau agar tubuhku terasa hangat sebelum menembus dinginnya kota ini.
Namaku Sekar. Aku mahasiswi Indonesia yang berkuliah di Berlin. Tepatnya di Freie Universitat Berlin. Aku sengaja memilih tempat yang indah ini untuk studi S1-ku. Karena kota ini tak hanya indah akan tetapi menyimpan sejuta sejarah dan budaya. Sebuah kota metropolitan yang terletak di jantung benua Eropa. Banyak hal yang membuatku begitu mencintai Berlin. Salah satunya adalah bercengkerama di tepi Sungai Spress sembari menikmati sang senja.
Aku menyeruput teh hijau sedikit demi sedikit. Jika sudah musim dingin seperti ini rasanya ingin sekali aku menghabiskan teh hangat ini lalu kembali tidur dan berselimutkan selimut tebal yang hangat lalu memakai headset, mendengarkan musik sampai sore dan absen kuliah. Akan tetapi aku teringat bagaimana dulu aku akan berangkat kesini. Berangkat dengan diiringi tetesan air mata dan selaksa doa dari ibu dan ayah. Dengan penuh keridhoan mereka mengizinkanku untuk kesini karena demi menuntut ilmu. Dan jika aku tidak kuliah hari ini maka aku adalah orang yang ingkar janji karena telah mendustai ayah dan ibu. Aku tidak mau hal itu terjadi. Dan jika tidak ingat itu semua maka lebih baik minum teh lalu tidur dan mendengarkan musik sampai nanti sore.
“Hai Sekar, kau mau kemana?.” Sapa Tiara begitu aku sampai di kampus.
“Hai juga Tiara. Aku mau ke Zedat aku mau mengeprint tugas dari Proffessor Edward.”
Dialah Tiara. Sahabatku di negeri ini. Kami satu jurusan dan satu kelas maka dari itu kami sampai bersahabat. Akan tetapi sayangnya kami berbeda agama. Namun dia sangat bertoleransi kepadaku dan tentu saja aku melakukan hal yang sama dengannya. Kami sudah sampai di Zedat dan siap untuk mengeprint tugas. Dan Zedat adalah Picipel yang mana kita bisa bermain komputer untuk mengerjakan tugas dan tentu saja bisa mengeprint. Harganya jauh lebih murah daripada harus mengeprint di luar. Begitu selesai aku dan Tiara langsung masuk ke dalam kelas untuk mengikuti mata kuliah hari ini.
Sepulang kuliah aku harus belanja. Mengingat persediaan makanan di dorm -adalah sebutan untuk asrama- sudah habis. Aku langsung menuju ke supermarket untuk belanja. Aku mengambil satu kantong jeruk, dua cup yogurt, satu kantong ayam dan dua plastik kangkung. Di Berlin juga ada kangkung hanya saja bedanya disini kangkungnya lebih mahal dari pada di Indonesia. Hari ini aku ingin makan oseng-oseng kangkung dengan ayam goreng. Begitu keluar dari supermarket udara dingin kembali menyapaku. Dingin yang sangat dingin. Hari ini udaranya sangat minus sehingga Berlin dinginnya sangat menusuk.
****
“Sekar, dua cup rasa matcha dan satu cup rasa green tea.” Kata Hilda sembari memberikan secarik kertas berisi pesanan pelanggan yang ia katakana tadi. Aku langsung membuatkan pesanan tersbut dengan cepat.
Inilah kegiatanku di hari minggu. Aku bekerja di salah satu tempat penjualan minuman yang terkenal di Jerman yaitu Bubble Tea. Hidup di negeri rantauan jauh dari ayah dan ibu mengharuskanku untuk hidup mandiri. Caranya adalah dengan bekerja yang hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biasanya dalam sehari kedai ini bisa menjual sampai 300 gelas. Dan Malam telah tiba. Aku selesai bekerja. Begitu keluar dari kedai aku langsung mengambil ponsel yang ada di dalam kantong jaketku. Dan segera mengirim pesan kepada Tiara karena aku ada janji kepadanya jika sepulang kerja aku akan mengajaknya ke Pasar Natal yang ada di Berlin. Dan ternyata Tiara sudah berada di sana sejak 10 menit yang lalu. Maka dengan cepat aku bergegas untuk menaiki u-bahn. Karena lebih cepat. Aku berharap, Tiara tidak menungguku terlalu lama.
Aku sampai di Pasar Natal 20 menit kemudian. Aku meminta maaf kepada Tiara atas keterlambatanku. Katanya tidak masalah karena dia tahu kegiatanku yang bisa dibilang cukup padat dan memang tadi dia ingin berangkat lebih awal untuk sekedar menikmati keindahan disini. Ini adalah salah satu tempat yang harus di kunjungi jika ada di Berlin. Karena disini banyak sekali permainan dan tentunya berbagai macam makanan. Sejatinya tidak jauh beda dengan pasar malam yang ada di desaku. Hanya saja yang ini lebih terlihat modern.
“Sekar, bagaimana jika kita bermain ice skating? Kau bisa?.”
“Tidak begitu bisa. Kenapa tidak cari permainan yang lain saja?.”
“Itu tidak menantang. Kamu harus mencoba ice skating. Sekali coba kamu pasti akan ketagihan.”
Dengan sedikit terpaksa aku mengikuti kemauannya. Dan aku sudah menduga bermain seperti ini kalau tidak terbiasa terasa sulit sekali. Aku melihat Tiara dengan begitu lihainya ia meluncur di atas permukaan es yang licin. Aku tidak bisa seperti dia. Kemudian dia menarik tanganku perlahan lalu kami meluncur bersama di atas permukaan es ini. Sangat menyenangkan. Selesai bermain ice skating kami mulai mencari yang hangat-hangat karena suhu semakin dingin. Dan kami memilih untuk membeli minuman hangat kemudian kembali menyusuri pasar natal ini untuk mencari makanan.
“Sekar, kau mau makan apa? Itu ada sosis setengah meter. Kau mau?.”
“Tidak sudah. Jangan sosis. Cari makanan lain yang jarang kita makan.”
“Itu ada champignons lalu schmalzkuchen dan ada langos juga. Aku bingung jika sudah ada makanan yang sama-sama enaknya.”
“Ya sudah, begini saja. Aku beli langos dan kamu beli schmalzkuchen. Nanti aku merasai punyamu dan kamu merasai punyaku. Dan untuk champignonsnya kita iuran.. bagaimana?.”
“A good idea perfect.”
Kemudian aku membeli langos dengan toping puder zucker. Langos ini berbentuk bulat pipih dan rasanya hampir mirip dengan cakwe. Dingin-dingin seperti ini memang nikmat jika makan langos yang baru saja di goreng. Sementara Tiara membeli schmalzkhucen makanan yang tak kalah enaknya dengan langos. Setelah mendapatkan dua makanan ini kami langsung memakan dan saling mencicipi. Setelah habis kami langsung iuran untuk membeli champignons yang rasanya sangat enak. Maka tak ayal harganya bisa di bilang cukup mahal. Kami menikmati lezatnya champignons yang panas. Hawa dingin berasa tidak terasa. Setelah makan champignons kami memutuskan untuk pulang karena sudah terlalu malam dan aku juga sudah sangat capek. Kami keluar dari pasar natal lalu menyuruh Tiara untuk segera pulang terlebih dahulu. Kami tidak bisa pulang bersama karena jalan yang kami tempuh berbeda.
Di temani dinginnya udara malam ini aku berjalan di pinggir kota untuk menuju ke halte bus yang akan mengantarkanku ke dorm. Udara semakin dingin dan aku rasa sebentar lagi salju akan turun. Dan ternyata benar. Beberapa detik kemudian salju turun. Aku megangkat telapak tanganku untuk menikmatinya. Ya, inilah hujan salju. Terlihat begitu indah. Aku sangat menyukai salju. Beberapa saat kemudian salju menyepuh semua tempat menjadi putih. Sungguh indah bukan?
****
Sore ini udara di Berlin cukup hangat setelah lima hari udara sangat dingin lantaran hujan salju yang selalu turun. Sore ini aku ingin jalan-jalan  menikmati indahnya kota Berlin. Ada dua tempat di Berlin ini yang paling aku sukai. Yang pertama adalah jembatan di Sungai Spress. Sebuah sungai yang terletak di depan Museum Island. Dan tempat yang kedua adalah Brandenburg Gate. Bradenburgh Gate adalah gerbang merepresentasikan simbol kemenangan Jerman dan saat ini digunakan juga sebagai simbol kota Berlin. Gerbang ini terletak di Pariser Platz. Dan kali ini aku tidak ke Brandenburg Gate akan tetapi langsung ke jembatan Sungai Spress. Mumpung udara tidak terlalu menusuk dan matahari masih bersinar dengan begitu syahdu maka tidak akan aku lewakan bercengkerama sampai senja di jembatan sungai itu.
Kabut jingga mulai tampak memesona. Pendaran cahaya yang bewarna kemerahan seakan memancarkan kesyahduan. Bercengkerama ditemani segelas cokelat panas. Bernostalgia dengan masa-masa indah saat aku belum ada disini. Sang kabut jingga semakin terlihat manja di kedua mataku. Kemudian ponselku berdering. Ada panggilan dari ibu. Aku sangat bahagia. Ku angkat ponselku dan,
“Assalamualaikum ibu. Ibu, aku sangat merindukanmu. Bagaimana keadaan ibu saat ini? bagaimana keadaan ayah? Aku sangat berharap kalian berdua selalu dalam lindungan Allah.” Cerocosku santai dengan penuh kegembiraan.
“Waalaikumsalam nak.” Suara ibu terdengar serak seperti habis menangis.
“Ibu kenapa? Kenapa menangis? Apa yang sudah terjadi?.”
“Ayahmu Sekar. Ayahmu telah meninggalkan kita untuk selamanya.”
Aku terperanjat. Seketika itu juga aku tak dapat membendung air mataku. Aku tak kuasa menahannya untuk tidak keluar. Dalam hati aku tak menyangka jika ayah harus pergi meninggalkanku secepat ini. Namun apalah daya. Inilah takdir Allah yang tidak bisa di elakkan lagi. Aku kembali memandang langit. Kali ini jingga tak nampak indah kembali. Kali ini sang jingga kembali berkabut. Berkabut lebih tebal dari biasanya. Kabut jingga yang tertutup kabut tebal. Lagit tak lagi indah. Mendung dan berkabut. Sama halnya dengan hatiku. Seakan alam merasakan apa yang sedang aku rasakan.
Aku turun dari jembatan. Berjalan perlahan untuk membeli tiket. Aku ingin pulang ke Indonesia.
Share:

1 comment: