Pages - Menu

Monday, April 29, 2019

Pelangi Di Bibir Nusaibah


 Ketika sedih, aku bersinar bagaikan bintang pagi
 Ketika patah hati, hakikatku justru tersingkap sendiri
Ketika aku diam dan tenang seperti bumi,
tangisku bagaikan guntur yang menggigilkan surga di langit tertinggi
Itulah salah salah satu syair Maulana Jalaluddin Rumi yang selalu aku ingat sampai saat ini. Ya, sampai saat dimana kedua mataku benar-benar menatap makam sang penyair yang termahsyur di zamannya itu. Yang namanya begitu melegenda sepanjang sejarah. Yang syair-syairnya terus terkenang hingga saat ini.
Dan inilah Konya. Sebuah kota yang sangat indah yang kini dijadikan destinasi wisata religi. Bangunan-bangunan sederhana yang memiliki desain arsitektur yang sangat luar biasa. Termasuk juga bisa berziarah ke makam penyair muslim terkenal di Turki ini yaitu Maulana Jalaluddin Rumi yang mana beliau juga merupakan pencipta Tarian Putar khas Turki yang terkenal sampai ke pelosok dunia. Dari Konya aku langsung menuju ke tempat yang tak kalah indahnya. Yaitu Pamukkale sebuah tempat wisata yang katanya banyak menyita mata pengunjung.
“Inilah Pamukkale. Tempat yang indah ini merupakan hasil dari fenomena alam yang menyita banyak mata. Sekilas tempat ini seperti istana kapas. Namun sejatinya tempat ini tersusun dari bebatuan yang bewarna putih. Dan disini juga ada kolam-kolam air panas alami yang bisa digunakan untuk berendam.” Fatimah menjelaskan dengan begitu detail tempat indah ini.
Namaku Lintang. Aku suka menulis. Dan semua perjalananku menjelajahi dunia selalu aku tulis dan aku jadikan novel. Terutama keindahan dunia yang berbalut keislaman. Sayang jika tidak di abadikan dalam sebuah buku. Dan Fatimah adalah temanku di Istanbul. Kami baru kenal dua hari yang lalu namun kini kami sudah sangat akrab layakya saudara sendiri. Pertemuan kami dimulai sejak suatu kejadian yang dimana saat itu aku tidak bisa membayar makanan yang aku beli karena dompetku tertinggal di hotel. Lalu dengan lembutnya dia datang dan membayarkan makananku. Dan semenjak itulah kami mulai berkenalan. Hingga saat ini. Dan Fatimah selalu mengantarkanku ke tempat-tempat yang harus aku datangi. Perjalanan kami selalu berkesan indah apalagi jika Nusaibah ikut. Gadis kecil yang cerdas dan kritis dalam berpikir itu selalu memotivasi diriku. Dialah anak pertama Fatimah.
Dan malam harinya Fatimah beserta Nusaibah mengundangku makan malam di rumahnya. Sebuah undangan yang susah untuk di tolak. Katanya malam ini Fatimah akan membuat banyak makanan khas Turki. Dan malam ini aku datang tepat waktu di rumahnya. Kedatanganku disambut oleh si mungil Nusaibah dan senyuman manis Fatimah. Aku merasa sangat berutung bisa bertemu dengan keluarga kecil yang selalu berpegang teguh pada ajaran islam.
“Lintang, aku memasak banyak sekali makanan malam ini spesial untuk kita bertiga. Dan semuanya adalah makanan khas Turki yang kamu wajib mencobanya. Ada Dolma yang berisi daging. Ada Manti, pasta berisi daging sapi dengan saus dan mentega. Ada Hummus yaitu salad dan biasanya sebelum makan kami memakan Hummus karena itu merupakan hidangan pembuka bagi orang Turki dan yang terakhir ada Baklava yaitu roti lapis isi kacang dan madu serta sirup. Selamat menikmati.”
“Wow! Banyak sekali Fatimah. Terima kasih. Maaf jika selalu merepotkan.”
“Tentu tidak Tante.” Seloroh Nusaibah sembari mencomot Baklava.
Malam yang dingin berlalu dengan indahnya bersama dua malaikat tanpa sayap yang ada di depanku ini.
****
Pagi hari ini matahari bersinar terang. Menghangatkan dinginnya Kota Istanbul. Aku membuat teh hangat yang akan menemaniku merangkai kata pagi ini. Dan aku harus mulai menyicil tulisanku mulai saat ini. Dan dua jam lagi Fatimah beserta Nusaibah akan mengajakku ke dua tempat yang sangat terkenal di Istanbul. Tentu saja Blue Mosque dan Hagia Shopia. Dan siapapun yang berkunjung kemari pastilah akan selalu mendatangi tempat itu dan tentu saja aku juga harus kesana. Aku tak mau melewatkannya begitu saja mumpung aku sedang berada di Turki.
“Inilah Hagia Shopia. Bangunan indah bekas gereja dan juga masjid yang sekarang beralih menjadi museum. Dan ini merupakan salah satu landmark paling terkenal di negeri ini. Sejak dibangun, Hagia Shopia adalah sebuah gereja orthodox. Hingga akhirnya di ubah menjadi masjid saat Kota konstantinopel jatuh pada kekaisaran Ottoman di bawah pemerintahan Sultan Mehmed II. Dan pada saat itu Hagia Shopia menjadi satu-satunya masjid disini sampai akhirnya di bangunlah sebuah masjid di dekatnya. Sebentar lagi akan aku beritahu kepadamu tentang masjid itu. Dan bentuknya tak jauh beda dengan Hagia Shopia karena memang masjid itu terinspirasi dari arsitektur bangunan indah ini. Kemudian fungsi Hagia Shopia menjadi masjid pun berakhir dan sempat ditutup untuk umum selama empat tahun. Dan kemudian Hagia Shopia dibuka kembali lalu diubah menjadi museum oleh presiden pertama republik Turki. Musthafa Kemal Ataturk.”
Setelah menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana Hagia Shopia itu, Fatimah kembali mengajakku ke bangunan yang dekat dengan Hagia Shopia. Yang bernama Blue Mosque atau dalam bahasa Indonesia-nya adalah Masjid Biru. Kata Fatimah, masjid ini di kenal sebagai masjid biru karena desain interiornya didominasi warna biru. Ada 20.000 keping keramik bewarna biru di dalamnya. Dan memiliki gaya arsitektur islam dan klassik Ottoman yang memiliki 9 kubah. Dan ini merupakan kebalikan dari Hagia Shopia. Blue Mosque masih aktif digunakan sebagai masjid hingga saat ini dan merupakan masjid utama di Istanbul. Selain desain interiornya yang indah karena di hias dengan banyak keramik bewarna biru dan lampu-lampu, masjid ini juga memiliki halaman yang luas yang semakin menambah kemegahan masjid ini.
Tiba-tiba Nusaibah mengajak untuk melaksanakan sholat duha di bawah naungan kubah mulia ini. Sungguh gadis kecil yang sangat memotivasi diriku untuk menjadi lebih baik. Dan di bawah naungan kubah megah ini, aku bersujud kepada Allah. Bersimpuh di hadapannya. Bersyukur atas nikmat yang telah Dia berikan kepadaku. Aku sangat bersyukur. Karena sejatinya Allah itu sangat dekat. Lebih dekat dari jantung yang berdetak. Lebih dekat dari aliran darah. Lebih dekat dari urat nadi di leher.
****
Sudah tiga hari aku tidak berjumpa dengan Fatimah dan si kecil Nusaibah. Rasanya rindu sekali. Karena selama tiga hari ini aku menghabiskan waktu bersama tulisanku. Karena penjelajahanku di kota yang sangat indah ini sudah selesai dan besok aku akan kembali ke Indonesia. Hari ini aku berencana untuk membelikan hadiah untuk Fatimah dan malaikat kecilku. Setelah aku dapatkan hadiah untuk mereka, aku langsung menuju ke rumahnya tanpa memberi tahunya karena aku ingin memberinya kejutan. Begitu sampai, aku langsung memencet bel dan keluarlah seorang wanita cantik berjilbab putih dengan motif bunga-bunga. Namun yang aku kagetkan wajahnya terlihat sembab seperti habis menangis.
“Assalamualaikum Fatimah. Aku rindu padamu dan Nusaibah. Oh ya, aku belikan sesuatu buat kalian berdua dan aku harap semoga bisa bermanfaat. Oh ya, dimana malaikat kecilku?.”
Fatimah menjawab salamku kemudian tersenyum. Tapi wajah sedihnya tidak bisa ia sembunyikan. Terlihat jelas sekali goresan kepedihan di wajahnya yang jelita.
“Ada apa Fatimah? Mengapa kamu menangis? Apa yang terjadi padamu?.”
Tanpa menjawab pertanyaanku Fatimah mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Dan aku terperanjat tatkala aku melihat keadaan Nusaibah. Gadis kecil yang cerdas itu terbaring tak berdaya di atas ranjang. Kata Fatimah dia sakit. Ya, dia sakit kanker. Seketika itu juga aku tak bisa membendung air mataku. Aku menangis di hadapan Nusaibah dan Fatimah. Aku memeluk gadis kecil itu dia menangis dan aku pun menangis. Kemudian dia tersenyum padaku namun aku tak bisa membalas senyumannya malah justru aku membalasnya dengan air mata yang terus berderai tanpa henti. Ku kecup keningnya berkali-kali. Aku sungguh tidak tega melihat keadaannya yang berubah derastis dari sebelum-sebelumnya.
“Lintang. Ada satu hal yang belum kamu ketahui tentang Nusaibah.”
“Oh ya? Apa itu?.” Jawabku dengan suara sedikit serak.
“Waktu lalu, kau ‘kan pernah mengatakan jika akan berangkat ke Suriah. Kau ingin lebih berani. Berani dalam menulis di tempat yang ekstrem. Dan tentu saja disana pastilah banyak anak-anak di kamp pengungsian yang sedang menghafal Al-Quran. dan kau tahu Lintang? Nusaibah putriku, dia adalah malaikat bagiku. Dan yang membuatku sangat bersyukur adalah dia hafal Al-Qur’an seluruhnya. Dan yang selalu aku ingat katanya yaitu ‘aku ingin memakaikan mahkota yang terbuat dari emas di kepala mama’.” Kata Fatimah sembari menangis. Aku tidak tahan dan ikut menangis. Namun aku menguatkan hatinya dengan mengelus bahunya.
“Aku sungguh tidak menyangka ternyata Nusaibah lebih dari apa yang aku tahu.”
“Dan kau mau tahu kelanjutan ceritaku? Ya, semenjak dokter momvonis jika umurnya tidak lama lagi, dia mengatakan jika dia ingin menyumbangkan mushaf yang selalu menemaninya menghafal untuk diberikan kepada salah satu saudaranya di Suriah yang sangat membutuhkan yang dia memang benar-benar ingin menghafal. Karena dia ingin mushafnya terus terpakai bagi anak-anak penghafal Al-Quran di luar sana. Dan aku tidak habis pikir Lintang, jika Nusaibah memiliki pikiran sampai sebegitu dalamnya. Maka dari itu, aku meminta tolong kepadamu agar ketika kamu telah berada disana, kamu memberikannya kepada salah seorang anak yang benar-benar membutuhkannya dan memiliki semangat yang tinggi dalam menghafalkanAl-Quran.”
“Insya Allah, akan aku laksanakan.”
Tiba-tiba nafas Nusaibah tidak terkontrol. Kami berdua mendekat. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Ma….ma….tu..tun…tuntun…a…akh…aku.”
Seketika itu juga Fatimah langsung menuntun putri tercintanya untuk membaca syahadat untuk yang terakhir kalinya. Dengan susah payah Nusaibah menirukan apa yang di ucapkan oleh mama-nya. Aku menangis melihat kejadian itu. Seakan dinding rumah ini juga mengeluarkan air mata. Nusaibah menghembuskan nafas terakhirnya. Fatimah menangis dan aku pun menangis. Kedua mata Nusaibah telah tertutup rapat. Gadis kecil yang selalu menginspirasiku kini telah tiada. Allah telah memanggilnya terlebih dahulu. Sedih begitu menyelimuti ruangan ini. Kulihat, seperti ada pelangi di bibir Nusaibah.

No comments:

Post a Comment