Sunday, February 2, 2020
Sunday, November 24, 2019
PUISI
Sedang Menikmati Rindu.
Oleh : Dian Iffani
Hitam kelam langit malam
Beraroma magis dari segala penjuru
Terdengar bisikan mesra sang angin malam
Membelai lembut dalam keheningan
Pekat aroma kopi dalam cangkir putih
Serta nostalgia pada rindu yang tiada berkesudahan
(Jombang, 22 Juli 2019)
Monday, April 29, 2019
Pelangi Di Bibir Nusaibah
Ketika
sedih, aku bersinar bagaikan bintang pagi
Ketika patah hati, hakikatku justru tersingkap
sendiri
Ketika
aku diam dan tenang seperti bumi,
tangisku
bagaikan guntur yang menggigilkan surga di langit tertinggi
Itulah
salah salah satu syair Maulana Jalaluddin Rumi yang selalu aku ingat sampai
saat ini. Ya, sampai saat dimana kedua mataku benar-benar menatap makam sang
penyair yang termahsyur di zamannya itu. Yang namanya begitu melegenda
sepanjang sejarah. Yang syair-syairnya terus terkenang hingga saat ini.
Dan
inilah Konya. Sebuah kota yang sangat indah yang kini dijadikan destinasi
wisata religi. Bangunan-bangunan sederhana yang memiliki desain arsitektur yang
sangat luar biasa. Termasuk juga bisa berziarah ke makam penyair muslim
terkenal di Turki ini yaitu Maulana Jalaluddin Rumi yang mana beliau juga
merupakan pencipta Tarian Putar khas Turki yang terkenal sampai ke pelosok
dunia. Dari Konya aku langsung menuju ke tempat yang tak kalah indahnya. Yaitu
Pamukkale sebuah tempat wisata yang katanya banyak menyita mata pengunjung.
“Inilah
Pamukkale. Tempat yang indah ini merupakan hasil dari fenomena alam yang
menyita banyak mata. Sekilas tempat ini seperti istana kapas. Namun sejatinya
tempat ini tersusun dari bebatuan yang bewarna putih. Dan disini juga ada
kolam-kolam air panas alami yang bisa digunakan untuk berendam.” Fatimah
menjelaskan dengan begitu detail tempat indah ini.
Namaku
Lintang. Aku suka menulis. Dan semua perjalananku menjelajahi dunia selalu aku
tulis dan aku jadikan novel. Terutama keindahan dunia yang berbalut keislaman.
Sayang jika tidak di abadikan dalam sebuah buku. Dan Fatimah adalah temanku di
Istanbul. Kami baru kenal dua hari yang lalu namun kini kami sudah sangat akrab
layakya saudara sendiri. Pertemuan kami dimulai sejak suatu kejadian yang
dimana saat itu aku tidak bisa membayar makanan yang aku beli karena dompetku
tertinggal di hotel. Lalu dengan lembutnya dia datang dan membayarkan makananku.
Dan semenjak itulah kami mulai berkenalan. Hingga saat ini. Dan Fatimah selalu
mengantarkanku ke tempat-tempat yang harus aku datangi. Perjalanan kami selalu
berkesan indah apalagi jika Nusaibah ikut. Gadis kecil yang cerdas dan kritis
dalam berpikir itu selalu memotivasi diriku. Dialah anak pertama Fatimah.
Dan
malam harinya Fatimah beserta Nusaibah mengundangku makan malam di rumahnya.
Sebuah undangan yang susah untuk di tolak. Katanya malam ini Fatimah akan
membuat banyak makanan khas Turki. Dan malam ini aku datang tepat waktu di
rumahnya. Kedatanganku disambut oleh si mungil Nusaibah dan senyuman manis
Fatimah. Aku merasa sangat berutung bisa bertemu dengan keluarga kecil yang
selalu berpegang teguh pada ajaran islam.
“Lintang,
aku memasak banyak sekali makanan malam ini spesial untuk kita bertiga. Dan
semuanya adalah makanan khas Turki yang kamu wajib mencobanya. Ada Dolma
yang berisi daging. Ada Manti, pasta berisi daging sapi dengan saus dan
mentega. Ada Hummus yaitu salad dan biasanya sebelum makan kami memakan Hummus
karena itu merupakan hidangan pembuka bagi orang Turki dan yang terakhir ada Baklava
yaitu roti lapis isi kacang dan madu serta sirup. Selamat menikmati.”
“Wow!
Banyak sekali Fatimah. Terima kasih. Maaf jika selalu merepotkan.”
“Tentu
tidak Tante.” Seloroh Nusaibah sembari mencomot Baklava.
Malam
yang dingin berlalu dengan indahnya bersama dua malaikat tanpa sayap yang ada
di depanku ini.
****
Pagi
hari ini matahari bersinar terang. Menghangatkan dinginnya Kota Istanbul. Aku
membuat teh hangat yang akan menemaniku merangkai kata pagi ini. Dan aku harus
mulai menyicil tulisanku mulai saat ini. Dan dua jam lagi Fatimah beserta
Nusaibah akan mengajakku ke dua tempat yang sangat terkenal di Istanbul. Tentu
saja Blue Mosque dan Hagia Shopia. Dan siapapun yang berkunjung kemari pastilah
akan selalu mendatangi tempat itu dan tentu saja aku juga harus kesana. Aku tak
mau melewatkannya begitu saja mumpung aku sedang berada di Turki.
“Inilah
Hagia Shopia. Bangunan indah bekas gereja dan juga masjid yang sekarang beralih
menjadi museum. Dan ini merupakan salah satu landmark paling terkenal di negeri
ini. Sejak dibangun, Hagia Shopia adalah sebuah gereja orthodox. Hingga
akhirnya di ubah menjadi masjid saat Kota konstantinopel jatuh pada kekaisaran
Ottoman di bawah pemerintahan Sultan Mehmed II. Dan pada saat itu Hagia Shopia
menjadi satu-satunya masjid disini sampai akhirnya di bangunlah sebuah masjid
di dekatnya. Sebentar lagi akan aku beritahu kepadamu tentang masjid itu. Dan
bentuknya tak jauh beda dengan Hagia Shopia karena memang masjid itu
terinspirasi dari arsitektur bangunan indah ini. Kemudian fungsi Hagia Shopia
menjadi masjid pun berakhir dan sempat ditutup untuk umum selama empat tahun.
Dan kemudian Hagia Shopia dibuka kembali lalu diubah menjadi museum oleh
presiden pertama republik Turki. Musthafa Kemal Ataturk.”
Setelah
menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana Hagia Shopia itu, Fatimah kembali
mengajakku ke bangunan yang dekat dengan Hagia Shopia. Yang bernama Blue Mosque
atau dalam bahasa Indonesia-nya adalah Masjid Biru. Kata Fatimah, masjid ini di
kenal sebagai masjid biru karena desain interiornya didominasi warna biru. Ada
20.000 keping keramik bewarna biru di dalamnya. Dan memiliki gaya arsitektur islam
dan klassik Ottoman yang memiliki 9 kubah. Dan ini merupakan kebalikan dari
Hagia Shopia. Blue Mosque masih aktif digunakan sebagai masjid hingga saat ini
dan merupakan masjid utama di Istanbul. Selain desain interiornya yang indah
karena di hias dengan banyak keramik bewarna biru dan lampu-lampu, masjid ini
juga memiliki halaman yang luas yang semakin menambah kemegahan masjid ini.
Tiba-tiba
Nusaibah mengajak untuk melaksanakan sholat duha di bawah naungan kubah mulia
ini. Sungguh gadis kecil yang sangat memotivasi diriku untuk menjadi lebih
baik. Dan di bawah naungan kubah megah ini, aku bersujud kepada Allah.
Bersimpuh di hadapannya. Bersyukur atas nikmat yang telah Dia berikan kepadaku.
Aku sangat bersyukur. Karena sejatinya Allah itu sangat dekat. Lebih dekat dari
jantung yang berdetak. Lebih dekat dari aliran darah. Lebih dekat dari urat
nadi di leher.
****
Sudah
tiga hari aku tidak berjumpa dengan Fatimah dan si kecil Nusaibah. Rasanya
rindu sekali. Karena selama tiga hari ini aku menghabiskan waktu bersama
tulisanku. Karena penjelajahanku di kota yang sangat indah ini sudah selesai
dan besok aku akan kembali ke Indonesia. Hari ini aku berencana untuk
membelikan hadiah untuk Fatimah dan malaikat kecilku. Setelah aku dapatkan
hadiah untuk mereka, aku langsung menuju ke rumahnya tanpa memberi tahunya
karena aku ingin memberinya kejutan. Begitu sampai, aku langsung memencet bel dan
keluarlah seorang wanita cantik berjilbab putih dengan motif bunga-bunga. Namun
yang aku kagetkan wajahnya terlihat sembab seperti habis menangis.
“Assalamualaikum
Fatimah. Aku rindu padamu dan Nusaibah. Oh ya, aku belikan sesuatu buat kalian
berdua dan aku harap semoga bisa bermanfaat. Oh ya, dimana malaikat kecilku?.”
Fatimah
menjawab salamku kemudian tersenyum. Tapi wajah sedihnya tidak bisa ia
sembunyikan. Terlihat jelas sekali goresan kepedihan di wajahnya yang jelita.
“Ada
apa Fatimah? Mengapa kamu menangis? Apa yang terjadi padamu?.”
Tanpa
menjawab pertanyaanku Fatimah mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Dan aku
terperanjat tatkala aku melihat keadaan Nusaibah. Gadis kecil yang cerdas itu
terbaring tak berdaya di atas ranjang. Kata Fatimah dia sakit. Ya, dia sakit
kanker. Seketika itu juga aku tak bisa membendung air mataku. Aku menangis di
hadapan Nusaibah dan Fatimah. Aku memeluk gadis kecil itu dia menangis dan aku
pun menangis. Kemudian dia tersenyum padaku namun aku tak bisa membalas senyumannya
malah justru aku membalasnya dengan air mata yang terus berderai tanpa henti. Ku
kecup keningnya berkali-kali. Aku sungguh tidak tega melihat keadaannya yang
berubah derastis dari sebelum-sebelumnya.
“Lintang.
Ada satu hal yang belum kamu ketahui tentang Nusaibah.”
“Oh
ya? Apa itu?.” Jawabku dengan suara sedikit serak.
“Waktu
lalu, kau ‘kan pernah mengatakan jika akan berangkat ke Suriah. Kau ingin lebih
berani. Berani dalam menulis di tempat yang ekstrem. Dan tentu saja disana
pastilah banyak anak-anak di kamp pengungsian yang sedang menghafal Al-Quran.
dan kau tahu Lintang? Nusaibah putriku, dia adalah malaikat bagiku. Dan yang membuatku
sangat bersyukur adalah dia hafal Al-Qur’an seluruhnya. Dan yang selalu aku
ingat katanya yaitu ‘aku ingin memakaikan mahkota yang terbuat dari emas di
kepala mama’.” Kata Fatimah sembari menangis. Aku tidak tahan dan ikut
menangis. Namun aku menguatkan hatinya dengan mengelus bahunya.
“Aku
sungguh tidak menyangka ternyata Nusaibah lebih dari apa yang aku tahu.”
“Dan
kau mau tahu kelanjutan ceritaku? Ya, semenjak dokter momvonis jika umurnya
tidak lama lagi, dia mengatakan jika dia ingin menyumbangkan mushaf yang selalu
menemaninya menghafal untuk diberikan kepada salah satu saudaranya di Suriah
yang sangat membutuhkan yang dia memang benar-benar ingin menghafal. Karena dia
ingin mushafnya terus terpakai bagi anak-anak penghafal Al-Quran di luar sana.
Dan aku tidak habis pikir Lintang, jika Nusaibah memiliki pikiran sampai sebegitu
dalamnya. Maka dari itu, aku meminta tolong kepadamu agar ketika kamu telah
berada disana, kamu memberikannya kepada salah seorang anak yang benar-benar
membutuhkannya dan memiliki semangat yang tinggi dalam menghafalkanAl-Quran.”
“Insya
Allah, akan aku laksanakan.”
Tiba-tiba
nafas Nusaibah tidak terkontrol. Kami berdua mendekat. Dia seperti ingin
mengatakan sesuatu.
“Ma….ma….tu..tun…tuntun…a…akh…aku.”
Seketika
itu juga Fatimah langsung menuntun putri tercintanya untuk membaca syahadat
untuk yang terakhir kalinya. Dengan susah payah Nusaibah menirukan apa yang di
ucapkan oleh mama-nya. Aku menangis melihat kejadian itu. Seakan dinding rumah
ini juga mengeluarkan air mata. Nusaibah menghembuskan nafas terakhirnya.
Fatimah menangis dan aku pun menangis. Kedua mata Nusaibah telah tertutup
rapat. Gadis kecil yang selalu menginspirasiku kini telah tiada. Allah telah
memanggilnya terlebih dahulu. Sedih begitu menyelimuti ruangan ini. Kulihat,
seperti ada pelangi di bibir Nusaibah.
Saturday, April 27, 2019
Kabut Jingga
Alarm berdering. Aku terbangun. Mengucek kedua mataku yang pandangannya
masih belum jelas. Duduk sejenak lalu bangkit dari tempat tidur. Aku melihat ke
arah jendela. Kaca jendela berembun. Udara di luar pasti sangat dingin dan
kemungkinan besar akan turun salju karena hari ini sudah memasuki winter.
Aku menyambar handuk yang ada di belakang pintu kemudian masuk ke kamar mandi.
Karena satu jam lagi aku ada jam kuliah. Selesai mandi aku membuat teh hijau
agar tubuhku terasa hangat sebelum menembus dinginnya kota ini.
Namaku Sekar. Aku mahasiswi Indonesia yang berkuliah di Berlin.
Tepatnya di Freie Universitat Berlin. Aku sengaja memilih tempat yang indah ini
untuk studi S1-ku. Karena kota ini tak hanya indah akan tetapi menyimpan sejuta
sejarah dan budaya. Sebuah kota metropolitan yang terletak di jantung benua
Eropa. Banyak hal yang membuatku begitu mencintai Berlin. Salah satunya adalah
bercengkerama di tepi Sungai Spress sembari menikmati sang senja.
Aku menyeruput teh hijau sedikit demi sedikit. Jika sudah musim
dingin seperti ini rasanya ingin sekali aku menghabiskan teh hangat ini lalu
kembali tidur dan berselimutkan selimut tebal yang hangat lalu memakai headset,
mendengarkan musik sampai sore dan absen kuliah. Akan tetapi aku teringat bagaimana
dulu aku akan berangkat kesini. Berangkat dengan diiringi tetesan air mata dan
selaksa doa dari ibu dan ayah. Dengan penuh keridhoan mereka mengizinkanku
untuk kesini karena demi menuntut ilmu. Dan jika aku tidak kuliah hari ini maka
aku adalah orang yang ingkar janji karena telah mendustai ayah dan ibu. Aku
tidak mau hal itu terjadi. Dan jika tidak ingat itu semua maka lebih baik minum
teh lalu tidur dan mendengarkan musik sampai nanti sore.
“Hai Sekar, kau mau kemana?.” Sapa Tiara begitu aku sampai di
kampus.
“Hai juga Tiara. Aku mau ke Zedat aku mau mengeprint tugas dari
Proffessor Edward.”
Dialah Tiara. Sahabatku di negeri ini. Kami satu jurusan dan satu
kelas maka dari itu kami sampai bersahabat. Akan tetapi sayangnya kami berbeda
agama. Namun dia sangat bertoleransi kepadaku dan tentu saja aku melakukan hal
yang sama dengannya. Kami sudah sampai di Zedat dan siap untuk mengeprint
tugas. Dan Zedat adalah Picipel yang mana kita bisa bermain komputer untuk
mengerjakan tugas dan tentu saja bisa mengeprint. Harganya jauh lebih murah
daripada harus mengeprint di luar. Begitu selesai aku dan Tiara langsung masuk
ke dalam kelas untuk mengikuti mata kuliah hari ini.
Sepulang kuliah aku harus belanja. Mengingat persediaan makanan di
dorm -adalah sebutan untuk asrama- sudah habis. Aku langsung menuju ke
supermarket untuk belanja. Aku mengambil satu kantong jeruk, dua cup yogurt,
satu kantong ayam dan dua plastik kangkung. Di Berlin juga ada kangkung hanya
saja bedanya disini kangkungnya lebih mahal dari pada di Indonesia. Hari ini
aku ingin makan oseng-oseng kangkung dengan ayam goreng. Begitu keluar dari
supermarket udara dingin kembali menyapaku. Dingin yang sangat dingin. Hari ini
udaranya sangat minus sehingga Berlin dinginnya sangat menusuk.
****
“Sekar, dua cup rasa matcha dan satu cup rasa green tea.” Kata
Hilda sembari memberikan secarik kertas berisi pesanan pelanggan yang ia
katakana tadi. Aku langsung membuatkan pesanan tersbut dengan cepat.
Inilah kegiatanku di hari minggu. Aku bekerja di salah satu tempat
penjualan minuman yang terkenal di Jerman yaitu Bubble Tea. Hidup di
negeri rantauan jauh dari ayah dan ibu mengharuskanku untuk hidup mandiri.
Caranya adalah dengan bekerja yang hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Biasanya dalam sehari kedai ini bisa menjual sampai 300 gelas. Dan
Malam telah tiba. Aku selesai bekerja. Begitu keluar dari kedai aku langsung
mengambil ponsel yang ada di dalam kantong jaketku. Dan segera mengirim pesan
kepada Tiara karena aku ada janji kepadanya jika sepulang kerja aku akan
mengajaknya ke Pasar Natal yang ada di Berlin. Dan ternyata Tiara sudah berada
di sana sejak 10 menit yang lalu. Maka dengan cepat aku bergegas untuk menaiki
u-bahn. Karena lebih cepat. Aku berharap, Tiara tidak menungguku terlalu lama.
Aku sampai di Pasar Natal 20 menit kemudian. Aku meminta maaf
kepada Tiara atas keterlambatanku. Katanya tidak masalah karena dia tahu
kegiatanku yang bisa dibilang cukup padat dan memang tadi dia ingin berangkat
lebih awal untuk sekedar menikmati keindahan disini. Ini adalah salah satu
tempat yang harus di kunjungi jika ada di Berlin. Karena disini banyak sekali
permainan dan tentunya berbagai macam makanan. Sejatinya tidak jauh beda dengan
pasar malam yang ada di desaku. Hanya saja yang ini lebih terlihat modern.
“Sekar, bagaimana jika kita bermain ice skating? Kau bisa?.”
“Tidak begitu bisa. Kenapa tidak cari permainan yang lain saja?.”
“Itu tidak menantang. Kamu harus mencoba ice skating. Sekali coba
kamu pasti akan ketagihan.”
Dengan sedikit terpaksa aku mengikuti kemauannya. Dan aku sudah
menduga bermain seperti ini kalau tidak terbiasa terasa sulit sekali. Aku
melihat Tiara dengan begitu lihainya ia meluncur di atas permukaan es yang
licin. Aku tidak bisa seperti dia. Kemudian dia menarik tanganku perlahan lalu
kami meluncur bersama di atas permukaan es ini. Sangat menyenangkan. Selesai
bermain ice skating kami mulai mencari yang hangat-hangat karena suhu semakin
dingin. Dan kami memilih untuk membeli minuman hangat kemudian kembali
menyusuri pasar natal ini untuk mencari makanan.
“Sekar, kau mau makan apa? Itu ada sosis setengah meter. Kau mau?.”
“Tidak sudah. Jangan sosis. Cari makanan lain yang jarang kita
makan.”
“Itu ada champignons lalu schmalzkuchen dan ada langos juga. Aku
bingung jika sudah ada makanan yang sama-sama enaknya.”
“Ya sudah, begini saja. Aku beli langos dan kamu beli
schmalzkuchen. Nanti aku merasai punyamu dan kamu merasai punyaku. Dan untuk
champignonsnya kita iuran.. bagaimana?.”
“A good idea perfect.”
Kemudian aku membeli langos dengan toping puder zucker. Langos ini
berbentuk bulat pipih dan rasanya hampir mirip dengan cakwe. Dingin-dingin
seperti ini memang nikmat jika makan langos yang baru saja di goreng. Sementara
Tiara membeli schmalzkhucen makanan yang tak kalah enaknya dengan langos.
Setelah mendapatkan dua makanan ini kami langsung memakan dan saling mencicipi.
Setelah habis kami langsung iuran untuk membeli champignons yang rasanya sangat
enak. Maka tak ayal harganya bisa di bilang cukup mahal. Kami menikmati
lezatnya champignons yang panas. Hawa dingin berasa tidak terasa. Setelah makan
champignons kami memutuskan untuk pulang karena sudah terlalu malam dan aku
juga sudah sangat capek. Kami keluar dari pasar natal lalu menyuruh Tiara untuk
segera pulang terlebih dahulu. Kami tidak bisa pulang bersama karena jalan yang
kami tempuh berbeda.
Di temani dinginnya udara malam ini aku berjalan di pinggir kota untuk
menuju ke halte bus yang akan mengantarkanku ke dorm. Udara semakin dingin dan
aku rasa sebentar lagi salju akan turun. Dan ternyata benar. Beberapa detik
kemudian salju turun. Aku megangkat telapak tanganku untuk menikmatinya. Ya,
inilah hujan salju. Terlihat begitu indah. Aku sangat menyukai salju. Beberapa
saat kemudian salju menyepuh semua tempat menjadi putih. Sungguh indah bukan?
****
Sore ini udara di Berlin cukup hangat setelah lima hari udara
sangat dingin lantaran hujan salju yang selalu turun. Sore ini aku ingin
jalan-jalan menikmati indahnya kota
Berlin. Ada dua tempat di Berlin ini yang paling aku sukai. Yang pertama adalah
jembatan di Sungai Spress. Sebuah sungai yang terletak di depan Museum Island. Dan
tempat yang kedua adalah Brandenburg Gate. Bradenburgh Gate adalah
gerbang merepresentasikan simbol kemenangan Jerman dan saat ini digunakan juga
sebagai simbol kota Berlin. Gerbang ini terletak di Pariser Platz. Dan kali ini
aku tidak ke Brandenburg Gate akan tetapi langsung ke jembatan Sungai Spress.
Mumpung udara tidak terlalu menusuk dan matahari masih bersinar dengan begitu
syahdu maka tidak akan aku lewakan bercengkerama sampai senja di jembatan
sungai itu.
Kabut
jingga mulai tampak memesona. Pendaran cahaya yang bewarna kemerahan seakan
memancarkan kesyahduan. Bercengkerama ditemani segelas cokelat panas.
Bernostalgia dengan masa-masa indah saat aku belum ada disini. Sang kabut
jingga semakin terlihat manja di kedua mataku. Kemudian ponselku berdering. Ada
panggilan dari ibu. Aku sangat bahagia. Ku angkat ponselku dan,
“Assalamualaikum
ibu. Ibu, aku sangat merindukanmu. Bagaimana keadaan ibu saat ini? bagaimana
keadaan ayah? Aku sangat berharap kalian berdua selalu dalam lindungan Allah.”
Cerocosku santai dengan penuh kegembiraan.
“Waalaikumsalam
nak.” Suara ibu terdengar serak seperti habis menangis.
“Ibu
kenapa? Kenapa menangis? Apa yang sudah terjadi?.”
“Ayahmu
Sekar. Ayahmu telah meninggalkan kita untuk selamanya.”
Aku
terperanjat. Seketika itu juga aku tak dapat membendung air mataku. Aku tak
kuasa menahannya untuk tidak keluar. Dalam hati aku tak menyangka jika ayah
harus pergi meninggalkanku secepat ini. Namun apalah daya. Inilah takdir Allah
yang tidak bisa di elakkan lagi. Aku kembali memandang langit. Kali ini jingga
tak nampak indah kembali. Kali ini sang jingga kembali berkabut. Berkabut lebih
tebal dari biasanya. Kabut jingga yang tertutup kabut tebal. Lagit tak lagi
indah. Mendung dan berkabut. Sama halnya dengan hatiku. Seakan alam merasakan
apa yang sedang aku rasakan.
Aku
turun dari jembatan. Berjalan perlahan untuk membeli tiket. Aku ingin pulang ke
Indonesia.